MAKALAH PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER
AL-JABIRI
DAN KRITIK NALAR ARAB
Disusun oleh :
M Rizal AR (20090720031)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2012
A. BIOGRAFI
Muhammad
al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan
pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah,
yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun
1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah
Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat.
Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria.
Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia
berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan
program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn
Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga
seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.
B.
LATAR BELAKANG
Adapun latar
belakang yang membuat Jabiri menulis triloginya adalah berangkat dari
keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab
kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (Arab) tidak
mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara,
terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka
terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi
perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (jurang
pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern.
Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak
berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print kebangkitan
peradaban” .
C.
PEMIKIRAN
1.
Turats dan
Modernitas
Jabiri
memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya
yang sekarang tidak dikenal dimasa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari
bahasa Arab “turats”, di dalam al-Quran yang berarti peninggalan
orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi)
menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu
kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang
dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu
dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.
Kemudian
Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas
yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu
menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak
mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya.
Menurutnya, konsep modernitas pertama dan
paling utama adalah dalam
rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena
modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam
tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru
tentang tradisi.
Karena itu,
gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu,
melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan
mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan
“modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan
sebuah metode dan visi modern tentang tradisi.
2.
Akal Arab
dan Titik Awalnya
Akal Arab
dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah peradaban Arab yang
diberikan kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau
aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi
struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri
melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat
pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada.
Dalam hal
ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin.
Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang
membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan. Akal dalam
pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia
yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal
Arab”.
Setelah itu
Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa
kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab
telah dibakukan pada disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga
konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi
terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, disatu
pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang
berkembang pada masa sebelumnya.
3.
Epistemologi; Bayani, ‘Irfani dan Burhani
Dalam hal
ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang
mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H
yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz)/lukisan.
Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo
selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang
tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak
berangkat dari realitas faktual.
Untuk
menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi
nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih
beroperasi, yaitu:
1)
Pertama, sistem
epistemologi indikasi serta eksplikasi (‘ulum al-bayan). Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran
analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan
menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang
belum tampak dengan apa yang sudah tampak.
2)
Kedua, disiplin
gnotisisme (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan
dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran
Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat
illuminasi.
3)
Ketiga,
disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan
atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi
intelektual.
Jika
disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah
intuitif (hati), dan metode burhani adalah bukti empirik, dalam epistemologi umumnya. Jabiri tidak
melihat ketiga sistem epistemologis ini pada
bentuknya yang ideal hadir dalam
setiap figur pemikir.
Sungguh pun
demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya,
terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya
dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”.
Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab
tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang
dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.
4.
Akal Politik
Arab
Jabiri
melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan
pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut, Jabiri
melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah),
motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).
1) Motif aqidah tidak
diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena
politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam
memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama,
disatu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum
kafir Quraisy.
2) motif in-group adalah
peranan ikatan darah diantara klompok-klompok Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif
maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal.
3) motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan
ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini
Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy
terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid
yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich. Akan tetapi,
disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan
mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu.
Untuk itu,
Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa
Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi
tiga fase;
pertama, fase dakwah
Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada
periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode
Madinah.
Kedua pada
fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa Abu Bakar
dan Umar bin Khatab.
Dan ketiga
fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa
timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan
kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan
diktatorisme kerajaan monarki.
Tak perlu
ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi kesultanan inilah yang sampai
sekarang mendominasi praktik politik Arab. Membuat rakyat yang seharusnya
memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat dan menyerah
kepada takdir.
Untuk hal
tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab,
dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe
ideal:
1)
Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani yang multipartai,
mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan
lembaga konstitusi.
2)
Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem
ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab
untuk memperkuat independensi.
3)
Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup
dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan
diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad
dan kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar