"Justru,
suatu pertanyaan harus diingat dan disebarkan supaya menstimulasi riset lebih
dalam lagi. Sebuah masyarakat tanpa pertanyaan adalah masyarakat mati; sains
tanpanya akan terhambat pertumbuhannya….. Lembaga keilmuan harus memupuk
intelektual yg kritis, tidak cuma ahli menulis yg menghafal dan mengulangi
pelajaran-pelajaran. Ketakutan intelektual semacam itu akan merugikan setiap
orang."
(Abdul
Karim Soroush,
Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, 2000: 260)
Sepucuk Surat Imajiner buat Irshad Manji
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mba Irshad, saudari
muslimah sang penebar kebebasan dan cinta. Sebelumnya izinkan kami untuk
menyampaikan surat – imajiner – ini kepadamu, sedapat mungkin dengan
pendekatan aposteriori, bukan apriori. Perkenankan juga kami menyampaikan rasa
permohonan maaf, karena sebahagian dari kami belum sepenuhnya dapat
menerima uluran tangan cintamu, yg dalam pandangan subjektifmu – karena cinta
memang sesuatu yg subjektif - sebagai bagian dari cinta ilahi. Tetapi
syukurlah, masih ada sebagian lain dari komunitas kami umat muslim Indonesia yg
mau menerima tawaran dialog denganmu. Mba Irshad, harap dimaklumi, bahwa bagi
kami – juga umat muslim di belahan dunia lainnya - telah lama terbangun sebuah
konstruksi berpikir dalam alam bawah sadar kami, bahwa kaum homo – maaf, dimana
anda adalah bagian dari itu – merupakan sesuatu yang dianggap – lagi-lagi maaf:
“jahat, najis dan menjijikkan”. Demikianlah konstruksi keagamaan kami yang
telah dibangun beraba-abad dan diwariskan secara turun-temurun melalui
literasi keagamaan, kitab-kitab fiqh, kurikulum pendidikan maupun ceramah dan
khutbah keagamaan, bahkan kini melalui internet, yang disampaikan para guru,
ustaz, ulama dan saudara kami. Kisah Nabi Luth yg tertera dalam kitab suci -
walau anda punya pandangan sendiri tentang itu, yang menurut sebahagian dari
kami anda dinilai tidak kompeten di bidang itu, tidak otoritatif - itulah
yg menyulut emosi sebahagian dari saudara kami untuk bertindak tegas dan
menolak kehadiranmu, di lembaga-lembaga keislaman bahkan top university,
yang diyakini dalam rangka selalu ingin menjaga kesucian akhlaq. Walaupun
sebagian dari kami ada juga yg bertanya-tanya, apakah Islam sebagai refleksi
cinta Tuhan mengajarkan sikap yg sekeras itu? Atau jangan-jangan justeru diri
kamilah yg seharusnya mulai mengkaji ulang kembali konstruksi pemikiran yg
sudah berjalan lama tsb., dengan membuka kemungkinan adanya pemahaman baru ttg
kaum homo – yg mungkin ada di sekitar keluarga dan lingkungan kami – secara
lebih manusiawi, seiring dengan tanda-tanda zaman, sejalan dengan semakin
meningkatnya wawasan dan sense of humanity di seluruh dunia dewasa ini,
yg mengharuskan kami, untuk sedikit rendah hati, meninjau ulang itu semua.
Mba Irshad, dengan
meminjam pendekatan psikologi (bagian dari humanities), tidak
semata-mata wawasan “keilmuan” (pakai tanda kutip, karena ada banyak varian worldview
di dalamnya) akidah, fiqh dan akhlaq (yg mungkin dinilai
rigid, skriptural dan “kering”, bahkan terkesan melahirkan sikap “antipati”, yg
dalam beberapa hal bermuara pada sikap saling menyesatkan); sebahagian dari
kami mencoba berempati bahwa masa kecil mu penuh dengan penderitaan dan
penindasan. Kami mengetahuinya dari bukumu, yg jelas dan pasti mewakili juga
nasib puluhan, bahkan mungkin ribuan anak2 dari keluarga muslim lainnya yang
mengalami penindasan yg sama, namun tidak banyak orang yg berani menceritakan
anatomi struktural maupun kultural dari penindasan tsb kepada dunia Islam,
sebagaimana yg anda suarakan, yg seharusnya direspon dengan seksama dan penuh
apresiasi, bukan dengan sikap permusuhan dan rasa benci. Lagi-lagi, kami
memaklumi (sekali lagi dengan menggunakan perspektif psikologi, tidak
semata-mata akidah, fiqh dan akhlaq), betapa kerasnya penderitaan yg anda
terima dari ayahmu, juga ibumu yg terlalu khawatir dengan masa depanmu,
sehingga anda anggap terlalu berlebihan dalam menasehatimu, sejak kecil. Belum
lagi pendidikan madrasah di masa kecilmu, yg anda nilai kurang demokratis dalam
sistem pembelajarannya. Bahkan dalam perjalanan pencarian cintamu hingga usia
dewasa, saat ini, engkau masih saja mengalami penolakan, baik dari kaum
perempuan, maupun para lelaki/agamawan yg boleh jadi memiliki bias patriarkhi,
yg menurut pandanganmu, mereka melakukan penolakan, bahkan dengan kekerasan, dengan
mengatasnamakan syariat/Tuhan, terlebih lagi – maaf - bila dikaitkan dengan
realitas kelesbianmu.
Mba Irshad, memang para
ulama (klasik), secara “ijma”/”sepakat” bahwa homoseksual merupakan al-fahisyah/prilaku
yg sangat keji, namun mereka berbeda pendapat soal design sanksinya. Adalah
satu kenyataan yg menarik, pertama: di dalam al-Qur’an memang tidak ada sanksi
yuridis yg tegas terhadap kaum homo, sebagaimana layaknya sanksi buat para
penzina dan pencuri. Secara faktual, memang tidak ada sanksi tegas bagi kaum homo pada, level teks wahyu/syariat (design
by God). Maka, dengan mengambil “inspirasi” dari kisah kaum Luth, para
ulama mengambil “inisiatif” (design by moslem schoolar/ulama) untuk
“mendesign sendiri” sanksi (sesuai dengan konteks abad pertengahan saat itu). Kedua,
hal menarik lainnya yg perlu menjadi kajian kritis, para ulama juga berbeda
pendapat tentang sanski yg harus diberikan bagi kaum homo ini. Lagi-lagi
unsur kenisbian paham (fiqh) keagamaan terlihat jelas di sini. Imam Malik dan
Hanbali “sepakat” bahwa homoseksual SAMA dengan zina, maka sanksinya adalah
dirajam. Adapun versi Imam Syafii, homoseksual TIDAK SAMA dengan zina, namun
ada beberapa unsur KESAMAAN, kaum homo diberi sanski rajam (bagi yg sudah
menikah) atau cambuk 100 kali (bagi yang jomblo). Adapun Imam Hanafi memberikan
“design” yg berbeda lagi, bahwa homoseksual BUKAN zina, maka kaum homo cukup
diberi hukuman ta’zir (sanksinya diserahkan kepada penguasa atau
pemerintah), karena posisi kaum homo memang tidak sama dengan para penzina.
Inilah contoh fiqh hasil design para ulama yg ketika itu mengambil “inspirasi”
dari kisah Nabi Luth.
Mba Irshad, sebagai
akibat dari berbagai “penindasan” yg anda alami, akhirnya anda pun “berlabuh”
dan menemukan kedamaian di dunia kaum lesbi, setelah menempuh perjalanan
panjang yg melelahkan dan berdampak pada sikap kerasmu (maaf, sebagaimana
tercermin dari beberapa kata-kata yg terkesan kasar dalam bukumu), demi
menemukan rasa cinta dan rasa damai yg sejati, yg - lagi-lagi dalam pandangan subjektifmu
- merupakan bagian dari bentuk cinta Tuhan kepadamu. Boleh jadi, itulah yg
membuat anda menulis buku ttg: Allah, Liberty and Love, dan ingin
berbagi pengalaman dengan saudaramu, sesama umat Islam di belahan negeri
lainnya. Maaf, mba Irshad, secara akademis, memetik hikmah dari kehadiran
makhluq Tuhan sepertimu di dunia ini, fenomena lesbianisme menarik untuk
diteliti, apakah karena faktor genetik-hormonal atau kultural, atau
kedua-duanya. Ini bisa menjadi bahan renungan keilmuan medis- psikologis
(sekali lagi tidak cukup hanya dengan pendekatan akidah, akhlaq semata), dan
temuan mutakhirnya kelak sangat penting untuk dijadikan bahan solusi atas
fenomena homoseksual di dunia Islam. Agar umat Islam masa kini bisa lebih friendly,
dalam mengatasi fenomena lesbianisme. Tidak semata-mata terjebak dengan
logosentrisme fiqh abad pertengahan di atas, sebatas “kacamata/worldview”:
“halal-haram/sesat/masuk neraka”. Ciri khas warisan studi Islam in medieval
era.
Mba Irshad, penting juga
anda sadari bahwa sebagian besar dari kami juga telah lama mengalami
penderitaan – berdasarkan teori konspirasi – yg dilakukan oleh kekuatan Negara
adidaya yg berpaham liberal. Inilah yg membuat kecurigaan sebagian besar dari
kami, bahwa kehadiran mu – engkau sadari atau tidak – dianggap merupakan bagian
dari perpanjangan tangan kelompok liberal tsb. Stereotype itulah yg
sudah lama mengendap dalam alam bawah sadar kami (melalui sosialisasi konsep al-gazwul
fikr/perang pemikiran, yg diindoktrinasi oleh para kakak instruktur/murabbi
kami, dalam training2 di masa kami masih remaja/mahasiswa, baik melalui gerakan
tarbiyah, LKD/LKM, DAD/BA, serta berbagai forum diskusi lainnya yg kami ikuti.
Ditambah lagi berbagai literatur keagamaan yg kami baca, yg memuat banyak
kandungan teori konspirasi tsb, dan bermuara pada sosok Ruwaifidlah/sejenisnya,
yg semua itu mungkin perlu kami kaji ulang secara lebih kritis lagi.
Mba Irshad, engkau juga
perlu memaklumi bahwa disamping paham tafsir/fiqh klasik yg telah mengendap
lama di benak kami, kecurigaan kami semakin bertambah-tambah akibat berbagai
penetrasi politik, ekonomi, budaya dan media liberal (yg setiap hari
melanda kehidupan yg merusak kesucian mata, telinga dan hati
keluarga/masyarakat kami, melalui tayangan erotisme, kekerasan, dll). Itu semua
membuat sebagian besar dari kami semakin frustrasi, dan karenanya, sebagian
dari kami, akan selalu mencari figur yg dapat kami jadikan sasaran empuk,
sebagai luapan dari tumpukan kemarahan kami selama ini. Kehadiranmu, boleh jadi
juga dimanfaatkan oleh “mafia” premanisme di tanah air, yg selalu ingin meraup
keuntungan politik maupun finansial, baik dari kelompok sisa2 Orde Baru, maupun
premanisme Orde Reformasi, mungkin juga memanfaatkan kelompok2 minoritas
keagamaan radikal, yg memang doyan dengan berbagai aksi kekerasan – boleh jadi
juga demi sesuap nasi - di negeri mayoritas muslim ini. Kemarahan sebagian dari
saudara2 kami tersebut semakin memuncak, di tengah tidakadilan hukum, politik
dan ekonomi di negeri yg tengah belajar berdemokrasi ini (Tempo, 14-20
Mei, 2012: 100-105).
Namun kini, secara
perlahan tetapi pasti, sebagian dari kami mulai belajar dan menyadari bahwa
fenomena ini harus segera diakhiri. Dengan penuh kesabaran serta menggunakan
pikiran dan hati yg jernih, mudah2an kami mulai dapat menyemai dan merajut
kembali tali-temali benih cinta ilahi, yg telah semakin meredup dalam
relung-relung hati kami yg paling dalam, sebagai impact dari penindasan
kultural maupun struktural, tingkat lokal maupun global. Kami pun akan mencoba
mengkaji ulang wawasan ttg “fiqh” homoseksual, secara lebih akademis, dengan
mengapresiasi perkembangan disiplin keilmuan kontemporer (IS/Islamic studies
+ SS/social sciences, NS/natural sciences, H/humanities), ketimbang hanya
berkutat dengan paham abad pertengahan semata, walau tetap dengan prinsip
“al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi as-salih, wal-akhdzu/wal-ijadu bil-jadid
al-ashlah” (tetap memelihara paham lama yg masih baik, namun mengambil/kreasi
sendiri dengan sesuatu yg baru, yg lebih baik). Sesuai dengan pandangan
almarhum Kuntowijoyo, bahwa umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia,
sedang memasuki era baru, yakni ERA ILMU (pasca era mitos dan ideologi),
yg mengharuskan kami - dan juga anda – untuk merespon segala bentuk
ketimpangan sosial Indonesia dan dunia, melalui cara kerja dialog keilmuan yg
ramah dan penuh empati, bukan jalan kekerasan dan kemarahan (beralih dari
perspektif CLASH of civilization, menuju DIALOGUE of civilization,
antara Islam-Barat, maupun antar sesama umat Islam sendiri). Karena kami mulai
menyadari, apabila sebagian dari kami meneruskan cara-cara yg tidak
akademis-dialogis, semua itu justeru akan semakin memperparah dan menambah
kesumpekan hidup, yg tanpa kami sadari akan “terwariskan” sampai ke anak
cucu kami. Bukankah Tuhan juga membuka ruang dialog “akademis” dengan Iblis,
serta mengabadikannya dalam kitab suci, bahkan “membiarkan” sang Iblis menggoda
manusia hingga akhir zaman. Ini yg mungkin anda maksud adanya “kontradiksi”
dalam al-Qur’an?, yg lagi-lagi menurut anda, agar manusia dapat mengembangkan
ijtihad di antara ruang “kontradiksi” tersebut.
Mba Irshad, dalam
konteks pengalaman kesejarahan keindonesiaan kami, Walisongo (yg
teologis-fuqaha) juga membuka ruang dialog dengan Syekh Siti Jenar (yg
“sufistik” dan dinilai keluar dari norma akidah). Di Era 1950-an, para founding
fathers kami juga sudah terbiasa berdebat secara ilmiah, walau berbeda
agama, beda afiliasi politik dan aliran lainnya, bahkan dengan tokoh
komunis/PKI yg (antiTuhan) sekalipun. Seperti yg dicontohkan dengan indah
oleh almarhum Mohammad Natsir, Agussalim, dll. Saat ini, sebagian dari kami
juga bertanya-tanya, mengapa di abad yang sangat terbuka dan melek IT
ini, tradisi perdebatan secara akademis seakan dibungkam, padahal kaum muda
kami sudah berdarah-darah untuk melahirkan era Reformasi. Tetapi kami –
mudah-mudahan anda juga - memaklumi, bahwa pasca era 1950-an, bangsa kami yg
mayoritas muslim ini, telah puluhan tahun dibungkam oleh rezim orde Lama/Baru,
yg menutup ruang kebebasan berpendapat secara akademis. Kini, kami – generasi
muslim masa kini – harus memulai kembali, yg tentunya butuh waktu, untuk mulai
belajar kembali berbeda pendapat secara lebih bermartabat. Kami tetap
menginginkan kebebasan berpendapat yg sehat, bertanggungjawab,
ilmiah/aposteriori/bukan apriori; dan dengan lebih mengedepankan
argumen-argumen keilmuan klasik hingga yg paling mutakhir, walau
kami tidak boleh terjebak dengan truth claim, serta tetap menjaga
ukhuwah antar sesama muslim, maupun saudara sebangsa. Kami pun menyadari, bahwa
perbedaan pendapat terkadang bisa membuka celah “retaknya” ukhuwah, dan itu
memang resiko dari adanya suatu perbedaan. Namun bila dikelola secara sehat,
justeru dalam jangka panjang, akan mendidik kami dan umat Islam lainnya belajar
menemukan pandangan yg lebih kualitatif- argumentatif. Bukankah semua itu akan
berdampak pada meningkatnya kualitas peradaban umat di masa depan?
Bangsa-bangsa yg maju adalah bangsa yang dimulai dari adanya pelbagai benturan
ide secara jernih dan sehat. Tampaknya itu yg mulai redup di negeri kami, juga
belahan dunia Islam lainnya. Lihatlah, kini “peradaban batu/kayu dan bedil”
lebih dihargai ketimbang “peradaban pena”. Premanisme jalanan tampaknya lebih
berharga ketimbang perdebatan ide yg seru, tetapi tetap dalam bingkai keilmuan.
Akankah kita biarkan radikalisme keagamaan mengalahkan rasionalitas
keagamaan?.
Mba Irshad, baru-baru
ini, kami juga mendapat inspirasi keilmuan kontemporer, belajar dari kasus MK
yg dapat memberi hak keperdataan pada anak di luar nikah, dimana kasus tersebut
menggambarkan bahwa otoritas “fiqh” medis (DNA) kontemporer bisa menjadi
alternatif dari paham religio-sosial abad pertengahan, sebagaimana yg diyakini
MUI. Kami juga mendapat pencerahan akademis dari salah seorang pakar psikologi
UGM, di kampus yg belum sempat menerima cintamu, yakni Prof. Dr. Nurrohman
Hajam: bahwa seorang hamba Allah yg memiliki ketidaknormalan pada otak, yg
seharusnya ada bagian tett (?) sebesar buah kenari, ternyata lebih kecil, orang
tersebut cenderung tidak mendapatkan cinta/ketertarikan terhadap lawan jenis.
Kalau ini benar, pertanyaan akademis bagi kami adalah: apakah Tuhan hanya akan
memberi “potensi” rasa cinta orang tsb kepada sesama jenis?. Lalu, bila
jawabannya ya, apakah Tuhan samasekali tidak memberi “ruang” bagi adanya
penyaluran rasa cinta sesama jenis, bagi orang seperti itu? (lex spesialis).
Yang sudah barang tentu tidak berlaku bagi manusia kebanyakan yang
normal/heterosesksual (lex generalis), yg menurut anda dilakukan oleh
“orang yg lurus” dengan “yg lurus” seperti tragedi liwath kaum Luth?
Sejauhmana argumen yg anda tulis di buku tsb bisa dipertanggungjawabkan secara
akademis?. Apakah hal tsb bisa menjadi semacam “asbabun nuzul al-jadid”
yg bisa menjadi input kajian akademis para pemegang otoritas kami, dalam bidang
Islamic Studies (IS), NS (Natural sciences), dan Humanities (H)?.
Dimana letak perbedaan dan persamaan antara komunitas gay (yg memiliki dampak
negatif bagi kesehatan, karena adanya penetrasi biologis), maupun komunitas
lesbi (yg dianggap lebih save, karena tidak adanya penetrasi biologis)?
Apakah Islam semata-mata menerima “fiqh” heteroseksual, sebagaimana yang telah
mengkonstruksi lama pemikiran umat. Apakah Islam samasekali memang sudah
menutup pintu homoseksual (baik gay dan lesbi), termasuk bagi yg mengalami
“kelainan” genetik-hormonal?, karena ada pakar yg mengatakan bahwa manusia homo
bisa karena sebab-sebab faktor genetik-hormonal, bisa juga semata-mata
kultural/lingkungan. Apakah tidak dimungkinkan adanya “fiqh” lex spesialis,
bagi yg mengalami kelainan tsb?. Sejauhmana tingkat validitas temuan medis
tersebut? Lebih lanjut, bagaimana pula korelasinya dengan teks-teks al-Qur’an,
hadis maupun kitab2 fiqh? yg “pemahamannya” sudah diterima secara taken for
granted oleh dunia Islam? Apakah “Islam antihomoseksual” sudah
merupakan suatu aksioma atau postulat yg tidak bisa diganggu gugat/qath’iy,
oleh wacana keilmuan medis, psikologi serta Islamic studies masa kini?
Mba Irshad, biarlah itu menjadi bahan renuangan akademis bagi para ulama/ilmuan
kami, sambil menunggu perkembangan keilmuan medis mutakhir, yg “mungkin” saja
berimplikasi pada tafsir/fiqh sebagaimana kasus MK di atas. Kami juga menyadari
bahwa tidak ada tafsir yg sempurna, yg ada hanya al-Qur’an sbg teks yg sempurna
– yg menurut anda terkesan beberapa ayat mengandung “kontradiksi” yg
memungkinkan terbukanya ruang ijtihad diantara kontradiksi yg ada. Kajian ini
tentunya perlu menggunakan teori verifikasi maupun falsifikasi. Ini opsi
pertama.
Mba Irshad, bila opsi
pertama di atas belum bisa dibuktikan secara ilmiah, baik dari segi “fiqh”
medis maupun Islamic studies, maka kita bisa memilih opsi kedua dengan
belajar dan mengambil inspirasi dari gagasan KH Sahal Mahfuz (Ketua MUI Pusat)
yg pernah melontarkan gagasan pentingnya “lokalisasi pelacuran”. Ketika itu
beliau juga dikritik banyak orang, tanpa harus dicurigai adanya teori
konspirasi kelompok/paham Liberalisme di balik gagasan tsb. Kebetulan beliau
dikenal sebagai sosok yg alim dan tawadlu’, sehingga memang sulit untuk
dikaitkan dengan paham/kelompok liberal, walau saat itu gagasannya dinilai
cukup “liberal” karena terkesan akan melegalkan pelacuran, yg sudah jelas haram
hukumnya dan telah memiliki sanksi yuridis yang tegas dalam al-Qur’an.
Sebenarnya, Kiai Sahal bukan berniat melestarikan pelacuran, tetapi agar
para pelacur tidak “nyaur” ke sembarang tempat, yg pasti berdampak negatif bagi
lingkungan masyarakat, maka ada baiknya disediakan tempat khusus untuk para
pelacur, dan secara periodik akan lebih mudah diberi bimbingan keagamaan maupun
skill, yg kelak mendapatkan profesi baru yg lebih halal.
Maaf mba Irshad, melalui
inspirasi gagasan Kiai Sahal di atas, sebaiknya kami harus mulai memikirkan
bagaimana mengatasi fenomena kaum homo ini, dengan memberikan interpretasi baru
yg lebih edukatif-persuasif dan humanis, sebagai alternatif solutif fiqh
abad tengah yg terkesan keras terhadap kaum homo. Dapatkah ulama masa kini
memberikan pemahaman keagamaan yg lebih manusiawi, tanpa harus memusuhi kaum
homo dengan semata-mata mengatakan sesat belaka, tanpa berpikir lebih jauh
mencari cara-cara yg lebih apresiatif mengatasi fenomena ini. Katakanlah
semacam perspektif baru tentang konsep al-Ma’un bagi kaum homo. Bukankah
kaum homo juga merupakan ciptaan Tuhan yg harus diberi rasa cinta secara
proporsional.
Kami juga harus mulai
menyadari bahwa kinilah saatnya umat Islam merespon segala problema dengan
cara-cara yg lebih cerdas, demokratis, bermartabat serta menggunakan berbagai
pendekatan disiplin keilmuan paling mutakhir (yg sudah barang tentu semua
itu akan terus berkembang), sebagaimana yg dinyatakan oleh Abdul Karim Soroush
(pemikir asal Iran) bahwa “perkembangan sains bisa saja berdampak pada
perubahan paradigma paham keagamaan”. Mirip2 pandangan Thomas Kuhn tentang
adanya normal science dan revolutionary science.
Mba Irshad, kami juga
ingin anda memberikan pencerahan yg seimbang dengan para pemimpin/masyarakat di
negara mu dan negara adidaya lainnya, yg sudah lama melakukan berbagai
penindasan politik, ekonomi terhadap kaum muslim seperti Palestina,
Afghanisatan, Irak dll. Walaupun kami menyadari, ini juga akibat dari belum
munculnya kepemimpinan dunia Islam yg efektif, sebagaimana yg secara perlahan
telah mulai ditunjukkan oleh Iran dan Turki, akhir-akhir ini.
Sebelum mengakhiri surat
kami ini, paling tidak ada beberapa hal yang bisa kita jadikan bahan renungan
akademis di masa depan, antara lain:
1. Bahwa studi keilmuan, baik yg IS maupun SS, NS dan H, secara
epistemologis pasti akan terus mengalami perkembangan. Karena watak keilmuan memang demikian adanya.
Kita umat Islam tidak boleh menutup pintu ijtihad (dalam segala variannya),
selamanya. Hanya dengan menempuh cara-cara akademislah dinamika keilmuan akan
tetap terjaga, bukan melalui cara-cara pelarangan, apalagi kekerasan.
2. Al-Qur’an dan Hadis memang sudah menjadi rujukan final umat Islam,
namun penafsirannya tetap terbuka sepanjang zaman. Firman Allah sarat dengan metafora yg membuka
peluang lahirnya makna-makna baru di setiap zaman. Masih banyak wilayah unthought
yg tersembunyi dalam kandungan teks al-Qur’an. Reinterpretasi bisa dari perubahan
makna teks, atau mengkaji ulang konteks asbabun-nuzul/asbab wurudil
hadis, maupun kontekstualisasinya di setiap generasi/zaman yg
kontemporer. Sejarah Islam mencatat, banyak ide-ide cemerlang sebagai bentuk
dinamika ijtihad, yg telah dimulai dari tradisi akademis ala Umar bin Khattab,
yg dimasanya juga pernah mendapat tuduhan telah menentang Allah dan Rasul
terkait dengan rampasan perang, maupun kasus pencurian. Demikian seterusnya,
setiap zaman melahirkan para pemikir baik yg high academic, hingga low
academic. Dinamika ijtihad tentu memiliki lapis-lapis intelektual yg
berbeda, tergantung isu yg ada. Mudah2an di masa depan, anda bisa menulis buku
yg lebih serius lagi, berdasarkan data-data maupun rujukan yg bisa
dipertanggungjawabkan, terutama terkait dengan wilayah Islamic studies.
Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution pernah mengatakan bahwa kemajuan dunia sains
dewasa ini, itu baru 10% digali dari al-Qur’an. Berarti masih ada 90% lagi
wacana dan riset keilmuan yg belum terungkap.
3. Berbagai
kegelisahan berupa bentuk2 penindasan yang riel di dunia Islam,
sebagaimana tertera dalam buku anda, tentu akan kami jadikan input bagi bahan
kajian studi Islam dan disiplin keilmuan lainnya di masa mendatang.
4. Mimbar kebebasan akademis harus tetap dijaga dan dipelihara dengan
menjunjung tinggi pertanggungjawaban akademik serta etika berkomunikasi yang
santun. Walau kami dapat
memahami, mungkin style, pilihan kata-kata juga dipengaruhi adat-istiadat
dan lingkungan peradaban yg bisa berbeda antara dunia Timur dan Barat. Belum
lagi soal transliterasi dari naskah asli yg disalin ke dalam bahasa yang
memiliki perbedaan style bahasa dan latarbelakang budaya.
5. Keberanian dan kebebasan berpendapat di dunia Islam harus terus
dipupuk dan dipelihara, tanpa mengabaikan prinsip etika dalam ber-munazharah. Memang tidak ada kebebasan yg sebebas-bebasnya.
Keberanian berpendapat akan mendidik umat untuk saling mengkritisi satu sama
lain, dan itu sangat positif dalam upaya membangun peradaban Islam yang lebih
kualitatif.
6. Ormas-ormas
Islam/MUI saatnya lebih memberikan interpretasi keagamaan yg lebih humanis,
terutama yang terkait dengan fenomena homoseksual. Reinterpretasi
tafsir/fiqh al-Ma’un yang terkait dengan kaum homo mendesak untuk dilakukan.
7. Umat
Islam harus berpartispasi aktif dan mendorong semakin kuatnya negara beserta
seluruh aparatnya, terutama dalam penegakan hukum, agar kebebasan berpendapat
dalam bingkai demokrasi bisa berjalan secara lebih rasional dan proporsional. Kelompok-kelompok
radikal, atas nama apapun, jangan sampai dibiarkan mengambil alih fungsi negara
dalam mengelola segala macam bentuk perbedaan.
8. Dunia
keilmuan Islamic studies (IS), sekarang ini berada pada periode
dekonstruksi (membongkar dan melakukan pembacaan ulang terhadap berbagai
konstruksi keagamaan Islam klasik). Berbagai khazanah pemikiran Islam
klasik kini sudah banyak dikritisi oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti
berbagai kritik terhadap: Imam Bukhari, Imam Syafii, Imam Ghazali, dll.
Dimasa kini dan mendatang, sebagai konsekwensi dari ERA ILMU, para pemikir
Islam kontemporer – dengan segala kelebihan dan kelemahannya - mulai melakukan
rekonstruksi keilmuan Islam yg baru, di berbagai disiplin ilmu, baik
akidah/teologi, fiqh, etika.
9. Umat Islam sudah saatnya memperkaya wawasan pemikiran keislaman
kontemporer dengan tradisi baru di bidang filsafat, sains (SS+NS),
tasawuf/psikologi (H). Terjadinya fenomena kekakuan yang berdampak pada
“kekerasan”/pola berpikir “antipati”/minus simpati dan empati, disebabkan masih
minimnya pengayaan disiplin filsafat, sains dan tasawuf/psikologi (H).
Sekian dulu Mba
Irshad, semoga surat imajiner ini akan menambah dan memperkaya perspektif
keislaman/keilmuan bagi kami dan anda. Siapa tau, Tuhan memang punya rencana
dan cara yg unik dalam menebarkan cintaNya – salahsatunya -melalui “kontroversi”
yg bersumber darimu.
Wallahu a’lam bisshawab.
Truth Claim
Klaim kebenaran tidak hanya terjadi dalam lingkungan keagamaan,
tetapi juga dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi
dan kesenian. Sebagai misal, ilmu pengetahun dibangun di atas dasar
deterministik bahwa setiap kejadian muncul karena sebab-akibat. Dalam sosiologi
dan antropologi ada anggapan bahwa moralitas adalah sesuatu yang relatif.
Sedangkan dalam kesenian ada anggapan bahwa tidak ada kriteria yg membedakan
antara karya seni yg baik dan yg buruk. Jika dogma agama dalam merumuskan
kebenaran berkaitan dengan pengalaman keberagamaannya, maka dogma dalam ilmu
pengetahuan mengungkapkan kebenaran berdasarkan pengamatan rasional
(Dr. Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an, Ibnu Rusyd,
Kritik Ideologis-Hermeneutis, 2009: 267)
oleh pak azhar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar