..

..
..

Jumat, 15 Juni 2012

Sepucuk Surat Imajiner buat Irshad Manji

"Justru, suatu pertanyaan harus diingat dan disebarkan supaya menstimulasi riset lebih dalam lagi. Sebuah masyarakat tanpa pertanyaan adalah masyarakat mati; sains tanpanya akan terhambat pertumbuhannya….. Lembaga keilmuan harus memupuk intelektual yg kritis, tidak cuma ahli menulis yg menghafal dan mengulangi pelajaran-pelajaran. Ketakutan intelektual semacam itu akan merugikan setiap orang."

(Abdul Karim Soroush,
Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, 2000: 260)


Sepucuk Surat Imajiner buat Irshad Manji

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Mba Irshad, saudari muslimah sang penebar kebebasan dan cinta.  Sebelumnya izinkan kami untuk menyampaikan surat – imajiner – ini  kepadamu, sedapat mungkin dengan pendekatan aposteriori, bukan apriori. Perkenankan juga kami menyampaikan rasa permohonan maaf, karena  sebahagian dari kami belum sepenuhnya dapat menerima uluran tangan cintamu, yg dalam pandangan subjektifmu – karena cinta memang sesuatu yg subjektif - sebagai bagian dari cinta ilahi. Tetapi syukurlah, masih ada sebagian lain dari komunitas kami umat muslim Indonesia yg mau menerima tawaran dialog denganmu. Mba Irshad, harap dimaklumi, bahwa bagi kami – juga umat muslim di belahan dunia lainnya - telah lama terbangun sebuah konstruksi berpikir dalam alam bawah sadar kami, bahwa kaum homo – maaf, dimana anda adalah bagian dari itu – merupakan sesuatu yang dianggap – lagi-lagi maaf: “jahat, najis dan menjijikkan”. Demikianlah konstruksi keagamaan kami yang telah dibangun beraba-abad dan diwariskan secara turun-temurun  melalui literasi keagamaan, kitab-kitab fiqh, kurikulum pendidikan maupun ceramah dan khutbah keagamaan, bahkan kini melalui internet, yang disampaikan para guru, ustaz, ulama dan saudara kami. Kisah Nabi Luth yg tertera dalam kitab suci - walau anda punya pandangan sendiri tentang itu, yang menurut sebahagian dari kami anda  dinilai tidak kompeten di bidang itu, tidak otoritatif - itulah yg menyulut emosi sebahagian dari saudara kami untuk bertindak tegas dan menolak kehadiranmu, di lembaga-lembaga keislaman bahkan top university, yang diyakini dalam rangka selalu ingin menjaga kesucian akhlaq. Walaupun sebagian dari kami ada juga yg bertanya-tanya, apakah Islam sebagai refleksi cinta Tuhan mengajarkan sikap yg sekeras itu? Atau jangan-jangan justeru diri kamilah yg seharusnya mulai mengkaji ulang kembali konstruksi pemikiran yg sudah berjalan lama tsb., dengan membuka kemungkinan adanya pemahaman baru ttg kaum homo – yg mungkin ada di sekitar keluarga dan lingkungan kami – secara lebih manusiawi, seiring dengan tanda-tanda zaman, sejalan dengan semakin meningkatnya wawasan dan sense of humanity di seluruh dunia dewasa ini, yg mengharuskan kami, untuk sedikit rendah hati, meninjau ulang itu semua.
Mba Irshad, dengan meminjam pendekatan psikologi (bagian dari humanities), tidak semata-mata wawasan “keilmuan” (pakai tanda kutip, karena ada banyak varian worldview di dalamnya) akidah, fiqh dan akhlaq (yg mungkin dinilai rigid, skriptural dan “kering”, bahkan terkesan melahirkan sikap “antipati”, yg dalam beberapa hal bermuara pada sikap saling menyesatkan); sebahagian dari kami mencoba berempati bahwa masa kecil mu penuh dengan penderitaan dan penindasan. Kami mengetahuinya dari bukumu, yg jelas dan pasti mewakili juga nasib puluhan, bahkan mungkin ribuan anak2 dari keluarga muslim lainnya yang mengalami penindasan yg sama, namun tidak banyak orang yg berani menceritakan anatomi struktural maupun kultural dari penindasan tsb kepada dunia Islam, sebagaimana yg anda suarakan, yg seharusnya direspon dengan seksama dan penuh apresiasi, bukan dengan sikap permusuhan dan rasa benci. Lagi-lagi, kami memaklumi (sekali lagi dengan menggunakan perspektif psikologi, tidak semata-mata akidah, fiqh dan akhlaq), betapa kerasnya penderitaan yg  anda terima dari ayahmu, juga ibumu yg terlalu khawatir dengan masa depanmu, sehingga anda anggap terlalu berlebihan dalam menasehatimu, sejak kecil. Belum lagi pendidikan madrasah di masa kecilmu, yg anda nilai kurang demokratis dalam sistem pembelajarannya. Bahkan dalam perjalanan pencarian cintamu hingga usia dewasa, saat ini, engkau masih saja mengalami penolakan, baik dari kaum perempuan, maupun para lelaki/agamawan yg boleh jadi memiliki bias patriarkhi, yg menurut pandanganmu, mereka melakukan penolakan, bahkan dengan kekerasan, dengan mengatasnamakan syariat/Tuhan, terlebih lagi – maaf - bila dikaitkan dengan realitas kelesbianmu.
Mba Irshad, memang para ulama (klasik), secara “ijma”/”sepakat” bahwa homoseksual merupakan al-fahisyah/prilaku yg sangat keji, namun mereka berbeda pendapat soal design sanksinya. Adalah satu kenyataan yg menarik, pertama: di dalam al-Qur’an memang tidak ada sanksi yuridis yg tegas terhadap kaum homo, sebagaimana layaknya sanksi buat para penzina dan pencuri. Secara faktual, memang tidak ada sanksi tegas bagi kaum homo pada, level teks wahyu/syariat (design by God). Maka, dengan mengambil “inspirasi” dari kisah kaum Luth, para ulama mengambil “inisiatif” (design by moslem schoolar/ulama) untuk “mendesign sendiri” sanksi (sesuai dengan konteks abad pertengahan saat itu). Kedua, hal menarik lainnya yg perlu menjadi kajian kritis, para ulama juga berbeda pendapat tentang sanski yg harus diberikan bagi kaum homo ini. Lagi-lagi unsur kenisbian paham (fiqh) keagamaan terlihat jelas di sini. Imam Malik dan Hanbali “sepakat” bahwa homoseksual SAMA dengan zina, maka sanksinya adalah dirajam. Adapun versi Imam Syafii, homoseksual TIDAK SAMA dengan zina, namun ada beberapa unsur KESAMAAN, kaum homo diberi sanski rajam (bagi yg sudah menikah) atau cambuk 100 kali (bagi yang jomblo). Adapun Imam Hanafi memberikan “design” yg berbeda lagi, bahwa homoseksual BUKAN zina, maka kaum homo cukup diberi hukuman ta’zir (sanksinya diserahkan kepada penguasa atau pemerintah), karena posisi kaum homo memang tidak sama dengan para penzina. Inilah contoh fiqh hasil design para ulama yg ketika itu mengambil “inspirasi” dari kisah Nabi Luth.
Mba Irshad, sebagai akibat dari berbagai “penindasan” yg anda alami, akhirnya anda pun “berlabuh” dan menemukan kedamaian di dunia kaum lesbi, setelah menempuh perjalanan panjang  yg melelahkan dan berdampak pada sikap kerasmu (maaf, sebagaimana tercermin dari beberapa kata-kata yg terkesan kasar dalam bukumu), demi menemukan rasa cinta dan rasa damai yg sejati, yg - lagi-lagi dalam pandangan subjektifmu - merupakan bagian dari bentuk cinta Tuhan kepadamu. Boleh jadi, itulah yg membuat anda menulis buku ttg: Allah, Liberty and Love, dan ingin berbagi pengalaman dengan saudaramu, sesama umat Islam di belahan negeri lainnya. Maaf, mba Irshad, secara akademis, memetik hikmah dari kehadiran makhluq Tuhan sepertimu di dunia ini, fenomena lesbianisme menarik untuk diteliti, apakah karena faktor genetik-hormonal atau kultural, atau kedua-duanya. Ini bisa  menjadi bahan renungan keilmuan medis- psikologis (sekali lagi tidak cukup hanya dengan pendekatan akidah, akhlaq semata), dan temuan mutakhirnya kelak sangat penting untuk dijadikan bahan solusi atas fenomena homoseksual di dunia Islam. Agar umat Islam masa kini bisa lebih friendly, dalam mengatasi fenomena lesbianisme. Tidak semata-mata terjebak dengan logosentrisme fiqh abad pertengahan di atas, sebatas “kacamata/worldview”: “halal-haram/sesat/masuk neraka”. Ciri khas warisan studi Islam in medieval era.
Mba Irshad, penting juga anda sadari bahwa sebagian besar dari kami juga telah lama mengalami penderitaan – berdasarkan teori konspirasi – yg dilakukan oleh kekuatan Negara adidaya yg berpaham liberal. Inilah yg membuat kecurigaan sebagian besar dari kami, bahwa kehadiran mu – engkau sadari atau tidak – dianggap merupakan bagian dari perpanjangan tangan kelompok liberal tsb. Stereotype itulah yg sudah lama mengendap dalam alam bawah sadar kami (melalui sosialisasi konsep al-gazwul fikr/perang pemikiran, yg diindoktrinasi oleh para kakak instruktur/murabbi kami, dalam training2 di masa kami masih remaja/mahasiswa, baik melalui gerakan tarbiyah, LKD/LKM, DAD/BA, serta berbagai forum diskusi lainnya yg kami ikuti. Ditambah lagi berbagai literatur keagamaan yg kami baca, yg memuat banyak kandungan teori konspirasi tsb, dan bermuara pada sosok Ruwaifidlah/sejenisnya, yg semua itu mungkin perlu kami kaji ulang secara lebih kritis lagi.
Mba Irshad, engkau juga perlu memaklumi bahwa disamping paham tafsir/fiqh klasik yg telah mengendap lama di benak kami, kecurigaan kami semakin bertambah-tambah akibat berbagai penetrasi politik, ekonomi, budaya dan media liberal  (yg setiap hari melanda kehidupan yg merusak kesucian mata, telinga dan hati keluarga/masyarakat kami, melalui tayangan erotisme, kekerasan, dll). Itu semua membuat sebagian besar dari kami semakin frustrasi, dan karenanya, sebagian dari kami, akan selalu mencari figur yg dapat kami jadikan sasaran empuk, sebagai luapan dari tumpukan kemarahan kami selama ini. Kehadiranmu, boleh jadi juga dimanfaatkan oleh “mafia” premanisme di tanah air, yg selalu ingin meraup keuntungan politik maupun finansial, baik dari kelompok sisa2 Orde Baru, maupun premanisme Orde Reformasi, mungkin juga memanfaatkan kelompok2 minoritas keagamaan radikal, yg memang doyan dengan berbagai aksi kekerasan – boleh jadi juga demi sesuap nasi - di negeri mayoritas muslim ini. Kemarahan sebagian dari saudara2 kami tersebut semakin memuncak, di tengah tidakadilan hukum, politik dan ekonomi di negeri yg tengah belajar berdemokrasi ini (Tempo, 14-20 Mei, 2012: 100-105).  
Namun kini, secara perlahan tetapi pasti, sebagian dari kami mulai belajar dan menyadari bahwa fenomena ini harus segera diakhiri. Dengan penuh kesabaran serta menggunakan pikiran dan hati yg jernih, mudah2an kami mulai dapat menyemai dan merajut kembali tali-temali  benih cinta ilahi, yg telah semakin meredup dalam relung-relung hati kami yg paling dalam, sebagai impact dari penindasan kultural maupun struktural, tingkat lokal maupun global. Kami pun akan mencoba mengkaji ulang wawasan ttg “fiqh” homoseksual, secara lebih akademis, dengan mengapresiasi perkembangan disiplin keilmuan kontemporer (IS/Islamic studies + SS/social sciences, NS/natural sciences, H/humanities), ketimbang hanya berkutat dengan paham abad pertengahan semata, walau tetap dengan prinsip “al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi as-salih, wal-akhdzu/wal-ijadu bil-jadid al-ashlah” (tetap memelihara paham lama yg masih baik, namun mengambil/kreasi sendiri dengan sesuatu yg baru, yg lebih baik). Sesuai dengan pandangan  almarhum Kuntowijoyo, bahwa umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia, sedang memasuki era baru, yakni ERA ILMU (pasca era mitos dan ideologi),  yg mengharuskan kami - dan juga anda – untuk merespon segala bentuk ketimpangan sosial Indonesia dan dunia, melalui cara kerja dialog keilmuan yg ramah dan penuh empati, bukan jalan kekerasan dan kemarahan (beralih dari perspektif CLASH of civilization, menuju DIALOGUE of civilization, antara Islam-Barat, maupun antar sesama umat Islam sendiri). Karena kami mulai menyadari, apabila sebagian dari kami meneruskan cara-cara yg tidak akademis-dialogis, semua itu justeru akan semakin memperparah dan menambah  kesumpekan hidup, yg tanpa kami sadari akan “terwariskan” sampai ke anak cucu kami. Bukankah Tuhan juga membuka ruang dialog “akademis” dengan Iblis, serta mengabadikannya dalam kitab suci, bahkan “membiarkan” sang Iblis menggoda manusia hingga akhir zaman. Ini yg mungkin anda maksud adanya “kontradiksi” dalam al-Qur’an?, yg  lagi-lagi menurut anda, agar manusia dapat mengembangkan ijtihad di antara ruang “kontradiksi” tersebut.
Mba Irshad, dalam konteks pengalaman kesejarahan keindonesiaan kami, Walisongo (yg teologis-fuqaha) juga membuka ruang dialog dengan Syekh Siti Jenar (yg “sufistik” dan dinilai keluar dari norma akidah). Di Era 1950-an, para founding fathers kami juga sudah terbiasa berdebat secara ilmiah, walau berbeda agama, beda afiliasi politik dan aliran lainnya, bahkan dengan tokoh komunis/PKI  yg (antiTuhan) sekalipun. Seperti yg dicontohkan dengan indah oleh almarhum Mohammad Natsir, Agussalim, dll. Saat ini, sebagian dari kami juga bertanya-tanya, mengapa di abad yang sangat terbuka dan melek IT ini, tradisi perdebatan secara akademis seakan dibungkam, padahal kaum muda kami sudah berdarah-darah untuk melahirkan era Reformasi. Tetapi kami – mudah-mudahan anda juga - memaklumi, bahwa pasca era 1950-an, bangsa kami yg mayoritas muslim ini, telah puluhan tahun dibungkam oleh rezim orde Lama/Baru, yg menutup ruang kebebasan berpendapat secara akademis. Kini, kami – generasi muslim masa kini – harus memulai kembali, yg tentunya butuh waktu, untuk mulai belajar kembali berbeda pendapat secara lebih bermartabat.  Kami tetap menginginkan kebebasan berpendapat yg sehat, bertanggungjawab, ilmiah/aposteriori/bukan apriori;  dan dengan lebih mengedepankan argumen-argumen   keilmuan klasik hingga yg paling mutakhir, walau kami tidak boleh terjebak dengan truth claim, serta tetap menjaga ukhuwah antar sesama muslim, maupun saudara sebangsa. Kami pun menyadari, bahwa perbedaan pendapat terkadang bisa membuka celah “retaknya” ukhuwah, dan itu memang resiko dari adanya suatu perbedaan. Namun bila dikelola secara sehat, justeru dalam jangka panjang, akan mendidik kami dan umat Islam lainnya belajar menemukan pandangan yg lebih kualitatif- argumentatif. Bukankah semua itu akan berdampak pada meningkatnya kualitas peradaban umat di masa depan?  Bangsa-bangsa yg maju adalah bangsa yang dimulai dari adanya pelbagai benturan ide secara jernih dan sehat. Tampaknya itu yg mulai redup di negeri kami, juga belahan dunia Islam lainnya. Lihatlah, kini “peradaban batu/kayu dan bedil” lebih dihargai ketimbang “peradaban pena”. Premanisme jalanan tampaknya lebih berharga ketimbang perdebatan ide yg seru, tetapi tetap dalam bingkai keilmuan. Akankah kita biarkan radikalisme keagamaan mengalahkan rasionalitas keagamaan?.
Mba Irshad, baru-baru ini, kami juga mendapat inspirasi keilmuan kontemporer, belajar dari kasus MK yg dapat memberi hak keperdataan pada anak di luar nikah, dimana kasus tersebut menggambarkan bahwa otoritas “fiqh” medis (DNA) kontemporer bisa menjadi alternatif dari paham religio-sosial abad pertengahan, sebagaimana yg diyakini MUI. Kami juga mendapat pencerahan akademis dari salah seorang pakar psikologi UGM, di kampus yg belum sempat menerima cintamu, yakni Prof. Dr. Nurrohman Hajam: bahwa seorang hamba Allah yg memiliki ketidaknormalan pada otak, yg seharusnya ada bagian tett (?) sebesar buah kenari, ternyata lebih kecil, orang tersebut cenderung tidak mendapatkan cinta/ketertarikan terhadap lawan jenis. Kalau ini benar, pertanyaan akademis bagi kami adalah: apakah Tuhan hanya akan memberi “potensi” rasa cinta orang tsb kepada sesama jenis?. Lalu, bila jawabannya ya, apakah Tuhan samasekali tidak memberi “ruang” bagi adanya penyaluran rasa cinta sesama jenis, bagi orang seperti itu? (lex spesialis). Yang sudah barang tentu tidak berlaku bagi manusia kebanyakan yang normal/heterosesksual (lex generalis), yg menurut anda dilakukan oleh “orang yg lurus” dengan “yg lurus” seperti tragedi liwath kaum Luth? Sejauhmana argumen yg anda tulis di buku tsb bisa dipertanggungjawabkan secara akademis?. Apakah hal tsb  bisa menjadi semacam “asbabun nuzul al-jadid” yg bisa menjadi input kajian akademis para pemegang otoritas kami, dalam bidang Islamic Studies (IS), NS (Natural sciences), dan Humanities (H)?. Dimana letak perbedaan dan persamaan antara komunitas gay (yg memiliki dampak negatif bagi kesehatan, karena adanya penetrasi biologis), maupun komunitas lesbi (yg dianggap lebih save, karena tidak adanya penetrasi biologis)? Apakah Islam semata-mata menerima “fiqh” heteroseksual, sebagaimana yang telah mengkonstruksi lama pemikiran umat. Apakah Islam samasekali memang sudah menutup pintu homoseksual (baik gay dan lesbi), termasuk bagi yg mengalami “kelainan” genetik-hormonal?, karena ada pakar yg mengatakan bahwa manusia homo bisa karena sebab-sebab faktor genetik-hormonal, bisa juga semata-mata kultural/lingkungan. Apakah tidak dimungkinkan adanya “fiqh” lex spesialis, bagi yg mengalami kelainan tsb?. Sejauhmana tingkat validitas temuan medis tersebut? Lebih lanjut, bagaimana pula korelasinya dengan teks-teks al-Qur’an, hadis maupun kitab2 fiqh? yg “pemahamannya” sudah diterima secara taken for granted  oleh dunia Islam? Apakah “Islam antihomoseksual” sudah merupakan suatu aksioma atau postulat yg tidak bisa diganggu gugat/qath’iy, oleh wacana keilmuan medis, psikologi serta Islamic studies masa kini? Mba Irshad, biarlah itu menjadi bahan renuangan akademis bagi para ulama/ilmuan kami, sambil menunggu perkembangan keilmuan medis mutakhir, yg “mungkin” saja berimplikasi pada tafsir/fiqh sebagaimana kasus MK di atas. Kami juga menyadari bahwa tidak ada tafsir yg sempurna, yg ada hanya al-Qur’an sbg teks yg sempurna – yg menurut anda terkesan beberapa ayat mengandung “kontradiksi” yg memungkinkan terbukanya ruang ijtihad diantara kontradiksi yg ada. Kajian ini tentunya perlu menggunakan teori  verifikasi maupun falsifikasi. Ini opsi pertama.
Mba Irshad, bila opsi pertama di atas belum bisa dibuktikan secara ilmiah, baik dari segi “fiqh” medis maupun Islamic studies, maka kita bisa memilih opsi kedua dengan belajar dan mengambil inspirasi dari gagasan KH Sahal Mahfuz (Ketua MUI Pusat) yg pernah melontarkan gagasan pentingnya “lokalisasi pelacuran”. Ketika itu beliau juga dikritik banyak orang, tanpa harus dicurigai adanya teori konspirasi kelompok/paham Liberalisme di balik gagasan tsb. Kebetulan beliau dikenal sebagai sosok yg alim dan tawadlu’, sehingga memang sulit untuk dikaitkan dengan paham/kelompok liberal, walau saat itu gagasannya dinilai cukup “liberal” karena terkesan akan melegalkan pelacuran, yg sudah jelas haram hukumnya dan telah memiliki sanksi yuridis yang tegas dalam al-Qur’an. Sebenarnya, Kiai Sahal  bukan berniat melestarikan pelacuran, tetapi agar para pelacur tidak “nyaur” ke sembarang tempat, yg pasti berdampak negatif bagi lingkungan masyarakat, maka ada baiknya disediakan tempat khusus untuk para pelacur, dan secara periodik akan lebih mudah diberi bimbingan keagamaan maupun skill, yg kelak mendapatkan profesi baru yg lebih halal.
Maaf mba Irshad, melalui inspirasi gagasan Kiai Sahal di atas, sebaiknya kami harus mulai memikirkan bagaimana mengatasi fenomena kaum homo ini, dengan memberikan interpretasi baru yg lebih edukatif-persuasif dan humanis, sebagai alternatif solutif  fiqh abad tengah yg terkesan keras terhadap kaum homo. Dapatkah ulama masa kini memberikan pemahaman keagamaan yg lebih manusiawi, tanpa harus memusuhi kaum homo dengan semata-mata mengatakan sesat belaka, tanpa berpikir lebih jauh mencari cara-cara yg lebih apresiatif mengatasi fenomena ini. Katakanlah semacam perspektif baru tentang konsep al-Ma’un bagi kaum homo. Bukankah kaum homo juga merupakan ciptaan Tuhan yg harus  diberi rasa cinta secara proporsional.
Kami juga harus mulai menyadari bahwa kinilah saatnya umat Islam merespon segala problema dengan cara-cara yg lebih cerdas, demokratis, bermartabat serta menggunakan berbagai pendekatan  disiplin keilmuan paling mutakhir (yg sudah barang tentu semua itu akan terus berkembang), sebagaimana yg dinyatakan oleh Abdul Karim Soroush (pemikir asal Iran) bahwa “perkembangan sains bisa saja berdampak pada perubahan paradigma paham keagamaan”. Mirip2 pandangan Thomas Kuhn tentang adanya normal science dan revolutionary science.
Mba Irshad, kami juga ingin anda memberikan pencerahan yg seimbang dengan para pemimpin/masyarakat di negara mu dan negara adidaya lainnya, yg sudah lama melakukan berbagai penindasan politik, ekonomi terhadap kaum muslim seperti Palestina, Afghanisatan, Irak dll. Walaupun kami menyadari, ini juga akibat dari belum munculnya kepemimpinan dunia Islam yg efektif, sebagaimana yg secara perlahan telah mulai ditunjukkan oleh Iran dan Turki, akhir-akhir ini.
Sebelum mengakhiri surat kami ini, paling tidak ada beberapa hal yang bisa kita jadikan bahan renungan akademis di masa depan, antara lain:
1.    Bahwa studi keilmuan, baik yg IS maupun SS, NS dan H, secara epistemologis pasti akan terus mengalami perkembangan. Karena watak keilmuan memang demikian adanya. Kita umat Islam tidak boleh menutup pintu ijtihad (dalam segala variannya), selamanya. Hanya dengan menempuh cara-cara akademislah dinamika keilmuan akan tetap terjaga, bukan melalui cara-cara pelarangan, apalagi kekerasan.
2.   Al-Qur’an dan Hadis memang sudah menjadi rujukan final umat Islam, namun penafsirannya tetap terbuka sepanjang zaman. Firman Allah sarat dengan metafora yg membuka peluang lahirnya makna-makna baru di setiap zaman. Masih banyak wilayah unthought yg tersembunyi dalam kandungan teks al-Qur’an. Reinterpretasi bisa dari perubahan makna teks, atau mengkaji ulang konteks asbabun-nuzul/asbab wurudil hadis, maupun kontekstualisasinya di setiap generasi/zaman yg kontemporer. Sejarah Islam mencatat, banyak ide-ide cemerlang sebagai bentuk dinamika ijtihad, yg telah dimulai dari tradisi akademis ala Umar bin Khattab, yg dimasanya juga pernah mendapat tuduhan telah menentang Allah dan Rasul terkait dengan rampasan perang, maupun kasus pencurian. Demikian seterusnya, setiap zaman melahirkan para pemikir baik yg high academic, hingga low academic. Dinamika ijtihad tentu memiliki lapis-lapis intelektual yg berbeda, tergantung isu yg ada. Mudah2an di masa depan, anda bisa menulis buku yg lebih serius lagi, berdasarkan data-data maupun rujukan yg bisa dipertanggungjawabkan, terutama terkait dengan wilayah Islamic studies. Almarhum Prof. Dr. Harun Nasution pernah mengatakan bahwa kemajuan dunia sains dewasa ini, itu baru 10% digali dari al-Qur’an. Berarti masih ada 90% lagi wacana dan riset keilmuan yg belum terungkap.
3.   Berbagai kegelisahan berupa bentuk2 penindasan yang riel di dunia Islam, sebagaimana tertera dalam buku anda, tentu akan kami jadikan input bagi bahan kajian studi Islam dan disiplin keilmuan lainnya di masa mendatang.
4.   Mimbar kebebasan akademis harus tetap dijaga dan dipelihara dengan menjunjung tinggi pertanggungjawaban akademik serta etika berkomunikasi yang santun. Walau kami dapat memahami, mungkin style, pilihan kata-kata juga dipengaruhi adat-istiadat dan lingkungan peradaban yg bisa berbeda antara dunia Timur dan Barat. Belum lagi soal transliterasi dari naskah asli yg disalin ke dalam bahasa yang memiliki perbedaan style bahasa dan latarbelakang budaya.
5.   Keberanian dan kebebasan berpendapat di dunia Islam harus terus dipupuk dan dipelihara, tanpa mengabaikan prinsip etika dalam ber-munazharah. Memang tidak ada kebebasan yg sebebas-bebasnya. Keberanian berpendapat akan mendidik umat untuk saling mengkritisi satu sama lain, dan itu sangat positif dalam upaya membangun peradaban Islam yang lebih kualitatif.
6.   Ormas-ormas Islam/MUI saatnya lebih memberikan interpretasi keagamaan yg lebih humanis, terutama yang terkait dengan fenomena homoseksual. Reinterpretasi tafsir/fiqh al-Ma’un yang terkait dengan kaum homo mendesak untuk dilakukan.
7.   Umat Islam harus berpartispasi aktif dan mendorong semakin kuatnya negara beserta seluruh aparatnya, terutama dalam penegakan hukum, agar kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi bisa berjalan secara lebih rasional dan proporsional. Kelompok-kelompok radikal, atas nama apapun, jangan sampai dibiarkan mengambil alih fungsi negara dalam mengelola segala macam bentuk perbedaan.
8.   Dunia keilmuan Islamic studies (IS), sekarang ini berada pada periode dekonstruksi (membongkar dan melakukan pembacaan ulang terhadap berbagai konstruksi keagamaan Islam klasik). Berbagai khazanah pemikiran Islam klasik kini sudah banyak dikritisi oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti berbagai kritik terhadap: Imam Bukhari, Imam Syafii, Imam Ghazali, dll. Dimasa kini dan mendatang, sebagai konsekwensi dari ERA ILMU, para pemikir Islam kontemporer – dengan segala kelebihan dan kelemahannya - mulai melakukan rekonstruksi keilmuan Islam yg baru, di berbagai disiplin ilmu, baik akidah/teologi, fiqh, etika.
9.   Umat Islam sudah saatnya memperkaya wawasan pemikiran keislaman kontemporer dengan tradisi baru di bidang filsafat, sains (SS+NS), tasawuf/psikologi (H). Terjadinya fenomena kekakuan yang berdampak pada “kekerasan”/pola berpikir “antipati”/minus simpati dan empati, disebabkan masih minimnya pengayaan disiplin filsafat, sains dan tasawuf/psikologi (H).

 Sekian dulu Mba Irshad, semoga surat  imajiner ini akan menambah dan memperkaya perspektif keislaman/keilmuan bagi kami dan anda. Siapa tau, Tuhan memang punya rencana dan cara yg unik dalam menebarkan cintaNya – salahsatunya -melalui “kontroversi” yg bersumber darimu.
Wallahu a’lam bisshawab.

Truth Claim

Klaim kebenaran tidak hanya terjadi dalam lingkungan keagamaan, tetapi juga dalam lingkungan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi dan kesenian. Sebagai misal, ilmu pengetahun dibangun di atas dasar deterministik bahwa setiap kejadian muncul karena sebab-akibat. Dalam sosiologi dan antropologi ada anggapan bahwa moralitas adalah sesuatu yang relatif. Sedangkan dalam kesenian ada anggapan bahwa tidak ada kriteria yg membedakan antara karya seni yg baik dan yg buruk. Jika dogma agama dalam merumuskan kebenaran berkaitan dengan pengalaman keberagamaannya, maka dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkapkan kebenaran berdasarkan pengamatan rasional

(Dr. Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an, Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis-Hermeneutis, 2009: 267)
oleh pak azhar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar